Dalam beberapa tahun terakhir ini, ekonomi dunia dilanda ketidakpastian. Dimulai dari Krisis Subprime Mortgage di AS pada 2008 hingga kemudian dilanjutkan krisis di benua Eropa. Sejak itu pula, banyak pujian – pujian yang dilontarkan lembaga dunia seperti World Bank dan IMF, kepada pemerintah maupun Menkeu saat itu Sri Mulyani Indrawati, atas keberhasilannya mencetak pertumbuhan 6,1% di 2008 dan 4,5% di 2009, di tengah resesi dunia.-sebagian besar negara minus pertumbuhannya-.
Pujian tersebut terus berlanjut hingga sekarang, di tengah krisis eropa. Tapi pertanyaannya, apakah pujian-pujian tersebut pantas diberikan? Atau hanya dilebih-lebihkan? Saya ingin mengajak anda untuk bermain hitung – hitungan ekonomi praktis. Di tahun 2010, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,1%, dan 2011 naik menjadi 6,5%. Sedangkan inflasinya berturut-turut 6,96% dan 3,79%.
Secara simpel, prinsip yang ingin dicapai dalam suatu pembangunan yang berkelanjutan adalah, bertumbuh setinggi mungkin, di atas inflasi, yang menggerus nilai daya beli mata uang. Dan apa yang dicapai? Dari 2008 sampai 2011, jika dijumlahkan secara langsung, ekonomi Indonesia tumbuh sekitar 23% (nilai aktual lbh tinggi) sementara inflasi harga-harga jika dijumlahkan sekitar 24%.
Artinya apa? Meski tidak menampilkan angka sebenarnya, namun penjumlahan di atas dapat mendekati dan mencerminkan, bahwa pertumbuhan yang dicapai pemerintah adalah hal yang biasa saja, so-so, bahkan memang HARUS terjadi seiring kenaikan harga barang dan jasa yang terus berputar dalam kegiatan ekonomi.
Bahkan, jika kita lebih teliti lagi,dalam melihat data – data Statistik Inflasi setiap tahun, Inflasi harga bahan makanan biasanya selalu lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya. Contoh ekstrimnya misalnya di 2010, saat data inflasi tahunan dari BPS menunjukkan angka 6,96%, maka inflasi harga bahan makanan mencapai 15,64%! Dan tahun 2012 ini (hingga Juli,berjalan) angka inflasi bahan makanan sejak awal tahun sudah menunjukkan 4,05% dibandingkan Inflasi umum 2,5%.
Interpretasi dari paragraf di atas? Ternyata, saat terjadi kenaikan harga, rakyat jelata kelas bawah akan semakin tercekik dan lebih merasakan dampaknya. Mengapa? Karena, bagi masyarakat berpendapatan rendah, porsi pendapatan mereka sebagian besar dibelanjakan untuk membeli makanan pokok. Bahkan terkadang lebih dari separuh pendapatan. Karena kecilnya pendapatan, dan sulitnya memenuhi kebutuhan pokok inilah, maka terkadang perhatian mereka terhadap pendidikan dan kesehatan anak – anak mereka juga terabaikan.
Kondisi yang dialami oleh kelas bawah ini berbeda dengan kelas Menengah-Atas, yang porsi pembelanjaan pendapatannya lebih terdiversifikasi, -dikarenakan jumlah uang yang dapat dibelanjakan juga lebih besar, sehingga, kebutuhan pokok dapat dengan mudah dipenuhi-, sehingga leluasa memerhatikan faktor kesejahteraan lainnya seperti pendidikan, kesehatan, sampai hiburan.
Jelas sekali, bahwa, jika kondisi ini terus berlanjut maka ketimpangan pendapatan antara kelas bawah dengan kelas menengah dan atas semakin besar. Bahkan, bukan tidak mungkin jika justru lebih banyak lagi rakyat Indonesia yang malah jatuh ke kelas bawah. Ini tentu menjadi tantangan bagi Indonesia dalam pembangunan berkelanjutannya.
Defisit Perdagangan
Masalah lain, yang tampaknya mulai hadir ialah, munculnya defisit perdagangan selama 3 bulan berturut-turut. Bahkan, defisit pada Juni 2012 adalah defisit terbesar dalam 5 tahun terakhir, yaitu mencapai US$1,32 Miliar. Padahal, pada bulan Mei 2012, defisit masih sekitar US$485 juta.
Munculnya defisit ini, menurut sebagian ekonom dikarenakan turunnya harga komoditas utama yang biasa diekspor Indonesia, seperti Batubara dan barang tambang lainnya. Selain itu, impor minyak juga dituding sebagai salah satu faktor. Namun, bagi saya, ada faktor lain dibalik itu, yaitu masih kurangnya hasil produk manufaktur yang dapat diandalkan sebagai backbone, sehingga Indonesia tidak tergantung kepada harga komoditas dunia, yang kendalinya pun bukan ada di negara ini, dan nilai tambahnya sedikit. Apalagi, dengan adanya perjanjian FTA yang telah diimplementasikan dengan China, yang sempat memicu kontroversi, karena tampaknya kita tidak mempersiapkan hal tersebut secara matang.
Ekonomi Indonesia, yang dalam tahun-tahun krisis ini dapat terlihat kuat ditopang oleh konsumsi domestik, tidak akan dapat terbang tinggi saat kondisi ekonomi, karena tersandera oleh daya beli domestik yang terbatas dan kurang adanya produk ekspor yang dapat diandalkan. Jika kita melihat komposisi PDB yang ada misalnya, industri non-migas yang paling signifikan pengaruhnya masih di sektor “Makanan,minuman dan tembakau”, yang sebagian besar memang dikonsumsi secara domestik, baru kemudian diikuti oleh produksi alat angkutan dan permesinan. Industri berteknologi seperti pupuk dan kimia menyusul, dengan besar hanya 1/3 dari output industri makanan. Padahal, industri ini biasa disebut sebagai industri dasar agar negara dapat melangkah menuju industrialisasi.
Ini berbeda,misalnya dengan China, Malaysia, ataupun Singapura. Mereka dapat tumbuh tinggi, karena dengan kontribusi ekspor yang juga tinggi dalam neraca perdagangannya, yang berarti mereka dapat memanfaatkan baik pihak luar –dengan membeli produk mereka- maupun domestiknya sendiri untuk membantu kegiatan ekonominya. Dan mereka, mengekspor produk-produk yang bernilai tambah tinggi.
Memang, kita tetap harus mengapresiasi pemerintah yang masih bisa mempertahankan kinerja ekonominya di tengah krisis, terutama melihat statistik 2 tahun terakhir (2012, masih berjalan), yang pertumbuhannya selalu lebih tinggi dari inflasi.
Namun, juga perlu diingat, tanpa adanya upaya pembenahan yang lebih serius, sepertinya negeri kita akan masuk ke siklus yang itu-itu saja. Pertumbuhan yang tersandera di kisaran 6 %, dan peningkatan statistik yang hanya setara inflasi. Hal ini akan sangat disayangkan, mengingat dalam 10 tahun ke depan, Indonesia akan mengalami apa yang disebut “bonus demografi” yaitu saat jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dibanding non-produktif, ditambah pula Sumber daya Alam yang memang melimpah.Seharusnya, momen ini dapat dimanfaakan, sebagaimana yang sudah dilakukan oleh China, untuk berlari. Tanpa berlari, akan sulit bagi Indonesia untuk naik kelas menuju negara industri/maju. Potensi ada,tinggal aksinya.
Last but not least, yang terpenting ialah, hendaknya pemerintah jangan terlalu terbuai dengan pujian-pujian yang dilontarkan oleh banyak pihak, karena sesungguhnya masih banyak PR yang menanti. Saya tutup tulisan saya kali ini dengan kata-kata yang mencerminkan progress ekonomi Indonesia saat ini. We’re still walking, not running.
Sumber Data (BI, BPS)