Dewasa ini, arus globalisasi semakin berhembus kencang. Banyak pengamat yang menilai, tak akan ada manusia yang dapat menghindari pengaruh – pengaruh fenomena ini. Batas Negara semakin tidak jelas, bahkan stereotip seperti “kebudayaan timur yang lebih ‘strict’ dibandingkan kebudayaan di Barat” tampaknya semakin bias.
Begitu pun yang terjadi di Indonesia. Semenjak gelombang euforia ‘westernisasi’ tahun 70-an, yang kemudian kembali lagi terjadi pada era reformasi, ada satu hal yang selalu sama. Yaitu bahwa, yang pertama kali terpengaruh adalah generasi remaja/ anak muda.
Memang, generasi muda adalah generasi yang menurut banyak psikolog, suka mencoba hal – hal baru di luar yang sudah umum. Maka, saat mereka melihat sesuatu yang unik, tanpa pikir panjang, mereka mencoba mengikutinhya. Ini pula yang berlaku kepada budaya – budaya asing yang masuk, yang masih terasa baru bagi kita Bangsa Indonesia. Padahal, semuanya tentu memiliki 2 sisi mata uang yang berbeda, positif dan negatif.
Jika kita lihat, bukan hanya di kota – kota besar, sudah merupakan hal yang lazim jika wanita – wanita memakai rok di atas lutut, atau atasan yang sedikit memperlihatkan dadanya. Di kalangan laki – laki, bukan merupakan hal yang aneh saat mereka merayakan sesuatu dengan “minum-minum” di bar.
Apakah semuanya murni kesalahan dari generasi muda? Saya pikir tidak. Nilai – nilai kebebasan yang masuk telah membuat sebagian orang tua menganutnya dalam pendidikan keluarga. Mereka membebaskan anak – anaknya, yang seringkali terlalu bebas, karena tidak memberikan ‘framing’. Nilai – nilai agama yang dulu teguh ditanamkanpun, dirasa makin sulit, meski kini mulai hadir konsep pendidikan yang berintegrasi dengan agama.
Padahal, saya pikir, jika fundamental yang ditanamkan pada generasi muda kuat, maka mereka akan dengan lihai menyeleksi sendiri mana budaya – budaya asing positif yang boleh kita serap. Dengan demikian, dapat disimpulkan semuanya kembali kepada diperlukannya suatu kepedulia orang tua terhadap anaknya. Ditambah dengan pemberian proses pendidikan yang baik.
Tiap hari kita dijejali oleh TV dan majalah tentang bagaimana “seharusnya” kita menjadi. Sayangnya, kebanyakan dari kita trus tanpa sadar ikut2an. Aku pernah ngalami dipaksa harus pakai make-up hanya gara2 ada “aturan” klo pergi ke acara resmi itu cewek harus dandan. Baca deh di http://kotakpermen.wordpress.com/2011/01/29/high-heel-engga-bangeeeetttt%E2%80%A6/
LikeLike
Media emang berperan penting dalam penyebaran hal – hal “seharusnya” itu.. hehe
Btw, ini artikel sebenarnya tugas pelajaran, disuruh nulis tentang hubungan generasi muda dan budaya asing…. gak nyangka ada yang ngomen…:) Makasih ya, dan salam kenal!
LikeLike
Inilah Tanggung Jawab keluarga seutuhnya.
Bukankah dalam suatu riwayat diceritakan di akhirat nanti, ketika anak dimasukkan ke dalam Neraka, dia akan menyalahkan orang tuanya karena tidak mengajarkannya nilai – nilai agama yang dapat membimbing mereka ke arah yang baik
LikeLike
Iya bang, hmm… akan menjadi pelajaran saat kita sudah menjadi orang tua… hehe…
oiya, sukses buat blog barunya ya bang, saya baru tau…
LikeLike
ijin membaca vin
subscribe gua dong..
jurnalazi92@wordpress.com
LikeLike
Udah bro!, Subscribe gue juga ye? hehe
LikeLike
aslm..
ka, minta izin copy ya.. buat materi speech di sekolah..
thx.
LikeLike
Oh iya, silakan…. ^_^
LikeLike
ijin nyimak gan… mantab…
LikeLike
yup…silakan
LikeLike